Jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa
menemukan peta ke Maluku. Lebih dulu bangsa Cina dan Arab datang berdagang. Ber-abad-abad mereka berdagang dengan
orang-orang Maluku, bertukar barang-barang. Dari pertukaran tersebut, empat
gunung (Kie
Raha) yang nantinya tampil sebagai Kerajaan yang berkuasa di Maluku, mulai dikenal hingga Eropa. Rasa
penasaran bangsa Eropa atas cengkeh dan pala yang dibawa oleh pedagang Arab dan
Cina mengantarkan mereka untuk melakukan pelayaran laut yang kejam, untuk menemukan jalur ke Maluku. Namun akhirnya Magellan menemukan jalur
ke Maluku, tapi
ia sendiri tak sempat menginjakan kakinya di negeri rempah-rempah itu. Lewat utusannya Faransicus Sarrao
lah yang berhasil memasuki laut Maluku,
dan terdampar dengan kapalnya di dekat pulau Banda. Kemudian Sarrao dijemput
oleh utusan kerajaan Ternate. Selanjutnya dimulailah episode perdagangan
rempah-rempah yang penuh api dan darah.
Ditemukannya Maluku oleh Sarrao,
telah membuka tabir tentang sebuah negeri
yang dalam pandangan
orang-orang Eropa waktu itu, disebut sebagai negeri yang dihuni oleh para monster—manusia meyerupai raksasa, kaki dengan tumit di depan,
dan berbagai jenis lainnya--(Leonard Andaya, Dunia Maluku,
2015). Meski pada
kenyataannya orang Maluku tidak seperti yang orang-orang Eropa kira, dan telah
meruntuhkan pradigma Eropa yang berasal dari filsafat Yunani dan
dibesar-besarkan oleh karya-karya tulis sebelum masehi dan sesudahnya itu. Tetap
saja pandangan mereka tak berubah, yakni menganggap rendah orang Maluku dan
patut untuk dijajah.
Dengan adanya perkembangan
kapitalisme di Eropa,
maka semakin memperkuat pula gagasan para penjajah untuk membenarkan
monopoli dan pembantaian.
Semakin maju sistim kapitalisme Eropa, semakin tersistimatis pula penjajahan
yang dilakukan di Maluku. Misalnya pada awal abad ke-16, yang masih berlakunya sistim merkantilisme dagang
(kapitalisme dagang) dimana komoditas cengkeh dan pala masih diangkut oleh
kapal-kapal dagang Eropa yang tiap tahunnya dibawa ke pasar Eropa. Sistim
merkantilis ini,
kemudian ditanggalkan karena seringkali mengalami kerugian. Maka dilahirkannya
VOC sebagai sistim ekonomi kapitalis yang lebih efisien untuk menguntungkan, tapi menciptakan penindasan yang luar
biasa.
VOC yang menjadi sistim ekonomi
kapitalis Eropa pada waktu itu, telah menciptakan kerenggangan antara rakyat dan raja-raja
Maluku. Karena tiap tahunnya Kerajaan
mendapat keutungan dari hasil monopoli rempah-rempah. Kapitalisme Eropa masa itu tak hanya
memonopoli cengkeh dan pala, tapi juga mengintervensi hingga keranah politik pemilihan raja. Dalam sejarah
yang dipaparkan oleh Leonard Andaya dalam bukunya “Dunia Maluku” bahwa Kerajaan Ternate lah yang paling
kuat di hegemoni. Sehingga Kerjaan
Ternate terkenal loyal dengan Kolonial
Belanda. Setelah menguasai ekonomi rempah dan mengatur perpolitik internal
Kerajaan. Maka pola-pola pengontrolan terhadap wilayah atau vassalnya kerajaan di Maluku waktu itu, dapat dilakukan dengan cara represif, yakni melalui ekspedisi hongi. Sebenarnya
ekspedisi hongi sendiri adalah cara pengotrolan Kerajaan Ternate yang selalu dilakukan
tiap bulan atau tiap tahunnya.
Setalah kapitalisme Eropa menguasai Maluku, maka ekspedisi hongi diterapkan
kembali oleh Eropa. Pengontrolan rempah-rempah lewat ekspedisi hongi tak hanya
mengelilingi pulau-pulau atau laut di Maluku. Tapi melalui kekerasan juga. Pada abad ke-17,
lewat ekspedisi hongi yang dilakukan oleh Belanda ke wilayah Semenanjung Timur
Halmahera (sekarang Halmahera Tengah),
di desa Mesa dan Dote,
ekspedisi tersebut memusnahkan ribuan
pohon pala. Kemudian berlanjut ke wilayah Wasile (Halmahera Timur) dan selanjutnya ke Raja Ampat (sumber ; Leonard Andaya, Dunia Maluku,
2015). Di Seram dan Ambon pun tak lepas dari ekspedisi hongi.
Pengontrolan lewat ekspedisi
hongi adalah demi
menjaga harga pasar di Eropa tetap stabil. Belanda akan rugi besar kalau tak ada pengontrolan, karena
para petani di Maluku lebih banyak menyelundupkan cengkeh dan pala kepada para pedagang Jawa, Bugis dan
Tuban, yang harganya lebih
menjanjikan dari pada harga yang harga sudah diaturankan oleh VOC-Belanda.
Menurut VOC, para petani rempah-rempah yang melakukan perdagang luar selain VOC-Belanda
akan dihukum secara kejam. Tapi
begitulah
orang Maluku yang dikenal kepala batu tak mematuhi aturan yang menindas mereka. Menyangkut sikap dan
ketidakpatuhan orang Maluku atas penjajahan yang dilakukan oleh VOC dan
Kerajaan masa itu,
sangat kental diceritakan oleh Hanna
Rambe dalam novelnya berjudul “Sibori
dan Aimuna.”
Selain ekspedisi hongi, VOC-Belanda dengan kekuasaanya atas kerajaan
di Maluku membuka jalur perdagangan budak yang terbentang dari, pulau Jawa, Timor-timor, NTT, Bima dan Maluku. Hana
Rambe juga menceritakan lewat novelnya yang berjudul “Mirah dari Banda.” Yang ternyata pulau Banda pernah
mengalami sebuah tragedi kemanusia,
yakni pemusnahan etnis terhadap suku asli Banda. Setelah pemusnahan etnis, para
budak dari Jawa di datangkan ke Banda. Kemudian dikembangkanlah perkebunan pala, dimana budak-budak dipekerjakan disitu,
mereka tinggal digubuk
kecil, seringkali diperkosa,
dan banyak diantara mereka melahirkan anak-anak turunan Belanda. Tak hanya
budak-budak yang dibawah ke Banda, ada juga budak-budak hasil tangkapan para
Bajak Laut Halmahera, Papua,
dan Raja Ampat yang diperjualbelikan di Tidore-Ternate. Juga terdapat pasar
budak di distrik Patani,
Weda dan Raja Ampat (Muridan, Pemberontakan Nuku).
Maluku (Utara) masa Kini
Gembaran sejarah di atas,
merupakan pergolakan ekonomi-politik atas kepentingan kapitalis Eropa.
Pergolakan tersebut tak hanya menjajah secara politik dan ekonomi, tapi lewat
pembantain secara brutal. Ekonomi-politik rempah-rempah memang mengiurkan
bangsa asing terutama Eropa dengan kemajuan-kemajuannya secara teknologi dan
ilmu pengetahuan. Kini Maluku yang dikenal sebagai negeri rempah-rempah dalam
konteks ruang dan waktu masih tetap saja dijajah secara ekonomi-politik dan
kekerasan.
Dalam konteks ruang Maluku telah berubah secara total karena konsep pembangunan
modern. Dan dalam konteks waktu Maluku tak lagi secara ekonomi bertumpu pada
rempah-rempah. Proses pembangunan di Maluku sendiri berkaitan erat dengan
kepentingan ekonomi-politik global atau trendnya dalam ideologi mainstream
disebut sebagai Kapitalisme Global.
Kehadiran Tambang NHM, tambang
Weda Bay Nickel, dan beberapa perusahaan tambang milik Cina di Halmahera Timur. Pada faktanya hanya
menciptakan kerusakan lingkungan dan pemiskinan massal. Tapi jauh sebelum adanya tambang-tambang
diatas melakukan pengerukkan. Soeharto dengan kekuasannya telah menjarah
Maluku. Di Halmahera-Galela,
perusahaan pisang diketahui milik keluarga cendana. Perusahaan kayu di Sidang Oli disinyalir demikian. Kemudian
dalam suatu artikelnya George Junus Aditjondro, mengatakan bahwa militer pernah
melakukan bisnis illegal loging dengan nama perusahaan “Delta Force.” Perusahaan kayu tersebut tak memiliki
kantor. Tak hanya itu, monopoli rempah-rempah di Maluku nyatanya juga dikuasai
oleh Tomy Soeharto. Ketika rempah-rempah tak menguntungkan maka terjadi
pemusanahan cengkeh dengan membakar stok sisanya. Setalah Soeharto runtuh maka
terbukalah secara otonom kepentingan asing di Maluku-Maluku Utara. NHM
menguasai Halmahera Utara, Weda Bay Nickel menguasai Halmahera Tengah dan
Halmahera Timur, perusahaan sawit PT. Korindo menguasai hutan Gane, Halmahera
Selatan. Semua perusahaan ini sahamnya dikuasai oleh bangsa asing. Entah berapa
persen yang akan didapat oleh Negara, daerah dan berapa untuk rakyat.
Tidak hanya mengeruk kekayaan alam di dasar
bumi, tapi juga melakukan penjajahan terhadap para pekerja dengan membayar upah
yang kecil dan sering disuruh lembur tanpa upah.
Juga tak ada
jaminan kesehatan serta jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka. Ketika para
pekerja mulai melakukan protes terhadap perusahaan, polisi-militer tak segan-segan
melakukan represif kepada
mereka.
Disituasi yang tak menjanjikan
kesejahteraan kepada rakyat Maluku, elit politik justru terlibat korupsi. Dan
lebih suka berpergian keluar daerah dari pada mendengarkan keluhan rakyatnya.
Dalam situasi seperti itu,
rakyat Maluku tentunya dilematis dan cendrung apatis, sehingga berbagai perbincangan
mengenai perubahan sosial dianggap sebagai suatu khayal atau utopis, tak mungkin terjadi. Maka logika miskin
dan kaya memang sudah jadi takdir di kepala setiap orang di Indonesia. Tapi
sebenarnya tak ada yang tak mungkin dalam perubahan sosial di Indonesia entah
itu revolusi sosial atau gerilya bersenjata seperti yang dilakukan Che Guevara
dan teman-temanya di Kuba atau seperti apa? Namun, Pramoedya Ananta Toer masih percaya
pada kaum muda, karena kaum mudalah yang menumbangkan Soerharto penguasa Orde Baru. Begitu pula pernyataan Soekarno yang
mengatakan berikanlah sepuluh pemuda maka akan pindahakan gunung Himalayah ke
samudra pasifik. Lihat saja sejarah pergerakan politik di Indonesia sangat di
dominasi oleh kaum muda. Begitu pula Maluku dengan sejarah perpolitikannya yang tak lepas dari
tokoh-tokoh yang progresif,
seperti Haji Salahuddin di desa
Patani
Halmahera Tengah.
Kalau ada yang mengatakan
Maluku-Maluku Utara,
rakyatnya telah sejahtera baik
secara ekonomi dan politik atau yang oleh Tan Malaka disebut sebagai Merdeka
seratus persen. Itu adalah pandangan yang keliru. Nyatanya tidak! Maluku masih di ukir oleh aksara Api
dan Darah. Maka orang Maluku tak pernah dalam satu masa dari dahulu hingga kini
mencapai kemerdekaannya.
EmoticonEmoticon